b a p e r



Hidup tuh lucu, ya.

Apalagi saat dilanda kesulitan, semua hal bakal terlihat seperti antagonis. Semua beban orang lain akan terlihat seperti kertas, ringan. Sedangkan masalah sendiri dianggap yang paling berat, terlihat seakan-akan paling menyedihkan. 

Payah. 

Ketika masalah telah pergi, keadaan seakan-akan tidak puas melihat kita menghela nafas. Seakan-akan tidak mau melihat kita tersenyum lega, melepas semua beban. Mungkin kata melepas tidak tepat mengingat bahwa tidak semua beban bisa dilepas begitu saja. Kata "melupakan" mungkin lebih cocok.

Ketika masalah kemarin telah pamit, manusia-manusia ini bahkan tidak tahu diri. Mengulang pundi-pundi masalah baru, lalu kemudian menyesalinya ketika yang dipanggil datang. Lalu kembali merasa seperti korban. Merasa seolah-olah, diri ini telah dijahati oleh hidup dan keadaan yang sepertinya sangat membenci perasaan bahagia yang kita rasakan.

Hal ini wajar.

Aku, kamu, dia, kita semua... adalah manusia. 


Ada saatnya, gue merasa bahwa hidup gue sangat baik-baik saja. Dengan masalah yang telah mampu dilalui, dengan semua "anugrah" yang akhirnya bisa gue terima, dengan rejeki yang selalu didatangkan dari hal yang bahkan tidak pernah gueDan g duga, dengan semua support system yang diberikan Tuhan buat gue untuk mendukung semua yang gue lakukan. Semuanya sangat baik-baik saja, bahkan lebih dari cukup untuk membuat gue bahagia menjalani hari-hari di kota orang.

Tapi, semuanya ga pernah bertahan lama. 

Akan ada saatnya gue merasa dangat down. Merasa seakan-akan kehilangan arah, seolah-olah gue ga berguna untuk hadir sebagai manusia di dunia ini. Akan ada saatnya, masalah-masalah yang udah gue anggap usai, ternyata datang lagi dengan membawa luka lama yang membuat semuanya terasa semakin sulit. Akan ada saatnya, gue merasa ingin merubah diri sendiri menjadi orang lain. Menjadi dia si Pintar, menjadi dia si Cantik, menjadi dia si Hebat, sampai gue membenci diri sendiri karena gue bukanlah mereka. Semuanya menjadi semakin toxic saat gue ngga bisa menggapainya, gue ngga bisa berubah. Akan ada saatnya, rejeki-rejeki yang didatangkan akan habis, dan gatau kapan akan datang lagi. Di saat-saat seperti itu, yang bisa gue lakukan hanyalah depresi dan merasa seolah-olah semua manusia lain selain gue memiliki hidup sempurna, yang stressnya hanya sebatas masalah akademis. Di saat-saat seperti itu, yang bisa gue lakukan adalah menyesali semua yang udah terbeli, semua yang udah terbuang. Dan akan ada saatnya, semua support system yang gue miliki terasa seperti menjauh, seakan-akan mereka gak suka dengan kehadiran gue, seolah-olah gue dimusuhin oleh semua orang yang gue kenal. Kadang, respon mereka membuat gue ciut dan ngerasa seakan mereka risih dengan adanya gue di sampingnya. Kadang, semua orang terasa menghilang...

Tapi, semua itu juga ga pernah bertahan lama.

Gue meyakini itu sebagai siklus. 

Sebagai siklus emosi gue sebagai seorang manusia yang dianugrahi emosi oleh Tuhan. Dan gue sebagai manusia yang udah dianugrahi, seharusnya menjaga emosi itu. 

"seharusnya"

Tapi kadang, gue justru menyalahgunahi emosi gue. Lebih tepatnya, gue gagal untuk mengontrol emosi gue. Semua persepsi ketika gue down gue telan mentah-mentah dan menyalahkan keadaan sebagai biang keladi dari semuanya. Padahal, guenya aja yang terlalu lebay. Guenya aja yang terlalu baper. 

Kadang, semua yang gue pikirin ga seperti kenyataannya. Gue sangat menyadari hal itu, tapi gue malah memilih untuk percaya kepada persepsi yang menyuruh gue untuk terlalu larut dalam kesedihan. 

Dan itu adalah hal yang wajar, tapi bukan hal yang baik untuk dilakukan. Gue yakin, kita semua memiliki kesempatan dan pilihan yang sama. 

Bangkit, atau jatuh lebih dalam lagi. 





*doain ya, semoga kita semua mampu untuk selalu memilih pilihan pertama*

Comments