Mundur Perlahan.

 

Tidak bisa kupungkiri, perasaanku untukmu kian hari kian menjadi. 

Yang semula hanya penasaran, kini aku perlahan mulai menaruh harapan. 

Namun, kusadari mungkin ini adalah saatnya aku menghentikan, sebelum akhirnya malah jatuh lebih dalam seperti yang sudah-sudah. 

Karena setelah kuingat lagi, kamu menyaksikan setiap hal, satu demi satu kode yang kutuliskan. 

Dan setelah kuingat-ingat lagi, tidak ada satupun tanggapan. 


Bukankah itu adalah jawaban?


Mungkin memang sudah seharusnya aku mundur. 

Yaa, seharusnya dari awal aku tidak melibatkan perasaan hingga akhirnya jatuh ke dalam pikiran-pikiran tentang skenario-skenario manis yang melibatkan kamu dan aku di dalamnya. 

Dan akibatnya, aku terlambat menyadari bahwa seandainya rasa ini tidak pernah ada, kita mungkin memiliki kenangan yang lebih menyenangkan daripada apa yang telah kita lewati, daripada apa yang sekarang terjadi:

Tidak ada aku yang selalu diam, tidak ada kamu yang akhirnya mengurangi kata demi kata. 

Adanya hanya kita dengan versi yang lebih jenaka, dengan segala candaan saling menggoda tanpa intensi apa-apa, sebagaimana sediakalanya. Asik, ya?


Tapi sialnya kekagumanku kepadamu sudah terlanjur seperti ini. 

Kekaguman yang berubah menjadi suka karena kamu yang manis, kamu yang perhatian, kamu yang selalu berdedikasi dalam melakukan suatu hal. Tentu aku tidak mau kehilangan manusia seperti kamu di kehidupanku yang dahulunya biasa-biasa saja. 

Lalu, jika aku berhenti menyukaimu dan move on, di mana lagi aku akan bertemu kamu walau dalam wujud orang lain?

Dan semisal memanglah ada, orang itu tetaplah bukan kamu. Lalu apa gunanya?


Setidaknya, jika memang aku harus mundur, izinin aku untuk mundur dengan perlahan, ya. 

Pelan-pelan, hingga akhirnya aku bisa menerima fakta bahwa tidak berakhir bersama bukanlah suatu kegagalan cinta, melainkan sebuah akhir bahagia yang sesungguhnya. 

Comments