Datang Lagi, bukan Kembali.




Disclaimer: Tulisan ini fiksional, kutulis beberapa bulan lalu untuk mata kuliah Penulisan Populer.

Selamat membaca, semoga kamu suka!

------------------------------------

Datang Lagi, bukan Kembali.

    Pagi ini aku berangkat ke kantorku lebih awal karena harus meeting dengan client terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan keseharianku sebagai seorang arsitek. Projek kali ini mungkin akan lebih menyenangkan karena aku harus merombak salah satu gedung di Jakarta selatan menjadi sebuah kantor untuk perusahaan yang bergerak di bidang furniture, sebuah bidang yang sangat kucintai sejak aku kuliah.

    Aku dan Rani, salah satu kolega kantorku sampai di ruang rapat kantor client yang nampak asing bagi kami dengan di sambut oleh seorang pria dewasa yang kalau dilihat dari posturnya, kutebak seumuran denganku. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas karena masker jenis N95 warna putih yang masih menempel di wajahnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Matanya. Mata dengan bulu mata yang begitu panjang dan lentik, mengingatkanku akan sosok dari masa lalu yang sampai sekarang masih setia tinggal memori kecilku, seolah enggan untuk pergi.

    “Selamat pagi, dengan Ibu Dian?” Tanya pria tersebut ramah sembari mengulurkan tangan kanannya. Aku sedikit tersentak mendengar suaranya yang begitu familiar yang membuatku menjadi diam saja, tidak menghiraukan uluran tangan itu. Tanpa sadar aku mulai tenggelam dalam perasaan-perasaan lama yang perlahan mengambil alih kendali pikiranku. Apakah orang ini benar-benar dia? Dia yang selama ini diam-diam kutunggu kepulangannya..

    Lamunanku tersadarkan oleh sikutan Rani, menegurku untuk membalas jabatan tangan si pria familiar ini.

    “Iya, betul. Dengan bapak siapa kalau boleh tau?” Tanyaku kepadanya sembari menggapai uluran tangannya. Bukan, aku bukannya tidak profesional karena tidak mengetahui nama client-ku sendiri, aku hanya ingin memastikan bahwa pria ini adalah orang yang sama seperti yang sedang kupikirkan.

    Sebelum menjawab, pria ini langsung membuka maskernya dan tersenyum. Jantungku berdegup begitu kencang saat melihat sosok yang selama ini kurindukan berada di depanku. Ternyata benar. Dia adalah pria yang sama dengan cowok super manis yang kupacari sepuluh tahun yang lalu. Bayu.

    “Saya Bayu. Pak Bayu.” Jawabnya. Pak Bayu... Aneh sekali bagiku untuk memanggilnya "Pak" dengan segala kenangan tentang Bayu muda di benakku.

    Genggamanku perlahan lepas, diikuti akal sehatku yang juga telah hilang entah kemana. Situasi ini kembali mengingatkanku akan bagaimana proses kenalan kami sebelumnya, sepuluh tahun yang lalu.

    Sore itu, di ruang tengah rumahku, aku melihatnya memandangku. Lagi. Dia yang sedang sedang menggenjreng sebuah gitar berwarna cokelat di ruang tamu, dengan kakakku dan 2 orang cowok lainnya yang sedang bernyanyi diiringinya. Sembari menikmati genjrengan gitar, cowok itu sesekali memandangku dengan tatapan yang begitu teduh sambil tersenyum. Entah apa maksudnya. Melihatnya seperti itu, kucoba mengalihkan pandanganku, membuang rasa yang harusnya saat itu tidak perlu untuk kurasakan. Tapi tidak bisa. Aku seolah-olah ikut tersihir pesonanya. Mata kami lalu bertemu selama beberapa detik. Mata itu, mata indah dengan bulu mata yang begitu lentik, memandangku dengan binaran yang membuat seluruh wajahnya semakin indah. Aku kemudian tersadar. Kualihkan sekali lagi pandanganku sebelum hatiku bergejolak ingin mendekatinya.

    Dia, seseorang yang sedang memandangku itu adalah orang yang belakangan ini diam-diam selalu mengusik pikiranku. Aku tidak mengetahui nama dan bahkan asal-usulnya. Yang kutahu, dia adalah teman kuliah Dani, kakakku yang lebih tua setahun dariku yang belakangan ini sering main ke rumah.

    Aku kembali mengalihkan perhatianku ke ruang tamu, berniat sedikit mencuri-curi pandang. Namun ternyata ini pilihan yang bodoh. Mataku melotot saat melihat sosok yang dari tadi membuatku salting tersebut bergerak menaruh gitar ke sampingnya lalu meninggalkan sofa ruang tamu. Jantungku berdegup semakin kencang ketika cowok berambut sedikit keriting itu mulai berjalan ke arahku dengan kedua ujung bibirnya yang terangkat, menegaskan betapa manisnya senyumnya kala itu. Aku diam saja, kaki-ku mematung seolah tak tahu cara untuk bangun.

    Semakin dia melangkah, waktu terasa semakin melambat. Dunia sekitarku yang tadinya berisik menjadi diam dan sunyi, seakan dibekap oleh aura yang dimilikinya. Namun anehnya, hanya jantungku yang berani melawan dan hatiku yang sedang berteriak tidak karuan, menolak mentah-mentah kedatangannya.

    “Hei”

    Aku membisu. Rasanya seperti gravitasi tidak berlaku di sofa tempatku duduk, rasanya bumi berhenti berputar saat cowok itu tiba-tiba duduk di sampingku. Gimana, nih?!

    “Nama lo siapa?” Tanyanya lagi. Aku tetap membisu, tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya. Di sisi lain, jantungku berdegup semakin kencang dan semakin kencang lagi saat cowok itu tiba-tiba menggapai tanganku.

    “Kenalin, gue Bayu.” Katanya sembari menyalamiku. Aku bisa merasakan telapak tangannya yang halus dan besar menggenggam tangan kananku. Tanpa membalasnya, aku segera melepas genggaman itu. Menyadari tingkah lakuku yang salting seperti itu, dia hanya tersenyum meresponku. Manis sekali.

    “Nama lo?”

    “Gue Dian.” jawabku sambil memberikan senyuman tipis.

    Dia kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Kayaknya dia senang sekali waktu itu.

    Aku kembali tesentak saat Rani menyadarkan lamunanku. Kini kami sudah duduk di kursi masing-masing yang mengelilingi sebuah meja besar. Di hadapanku sudah ada Pak Bayu dan seorang koleganya, Pak Toni yang sedang menjelaskan sesuatu ke Rani. Aku bahkan tidak menyadari kapan datangnyaa pria itu. Aku diam-diam mengalihkan padanganku ke Pak Bayu yang sibuk memperhatikan penjelasan Pak Toni dengan diriku yang sibuk memperhatikan dirinya. Kembali terbayang dibenakku bagaimana dahulu, akulah yang selalu ditatapnya.

    Saat itu, hampir tiga minggu sejak aku kenalan dengan Bayu. Sejak itu pula, Bayu semakin sering ke rumahku. Alasannya sih, numpang nge-print di kakakku. Meskipun kutahu bahwa itu hanyalah modus belaka, karena disela-sela itu, Bayu selalu menghampiriku di ruang TV dan mengajak ngobrol. Dan hari itu adalah yang kesekian kalinya.

    Dapat kukatakan bahwa Bayu adalah orang yang sangat jenaka. Dia selalu bercerita tentang hal-hal lucu yang dia alami di kampusnya, di rumahnya, hingga di perjalanan menuju rumahku. Dan di sela-sela itu pula, aku baru tahu bahwa ternyata dia seumuran denganku, 19 belas tahun. Dia menceritakan semuanya dengan begitu antusias. Sangat lucu melihatnya seperti itu.

    “Tahu gak, Di. Dari pas pertama kali gue ke sini, gue selalu merhatiin lo.” Ucapnya tiba-tiba. Aku tersenyum menanggapinya dan jujur, aku tidak kaget mendengarnya karena akupun memerhatikannya selama itu.

    ”Tahu, kok, gue.” Jawabku sambil tersenyum kepadanya. “Kan, gue juga.” Lanjutku. Kami tertawa bersama.

    “Kalau menurut bu Dian bagaimana?” Suara Pak Toni menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Ternyata sedari tadi aku hanya senyam-senyum sambil mengenang kenangan indah awal perkenalanku dengan Bayu. Aku kenapa, sih, hari ini?
    
    “Menurut saya oke-oke saja. Masih bisa kami buatkan. Untuk teknisnya, saya yang bertugas untuk mengawasi proses pembangunannyaa. Jadi saya akan lebih sering ke sini nantinya.” Jawabku kepada Pak Toni, tentu saja dengan sedikit menekankan pada kalimat terakhir untuk mengambil sedikit perhatian Pak Bayu. Aku sedikit bingung, apakah dia tidak mengingatku? Padahal menurutku, kenangan kami cukup manis untuk dilupakan begitu saja. Apalagi kenangan saat kami pertama kalinya jalan bersama.

    Sore itu, aku dan Bayu duduk di atas pasir sambil memandang matahari yang perlahan-lahan turun ke belahan bumi lain. Perpaduan warna oranye dan merah muda di langit sore itu membuat suasanya begitu indah, ditambah angin pantai yang berhembus seakan memberi tahu kami bahwa Bumi sedang senang melihat kami; aku dan Bayu yang sekarang sedang bersama.

    “Di.” Bayu memanggilku dengan suara yang begitu halus.

    Aku memutar wajahku, menoleh ke arah Bayu yang sedang menatap lurus ke depan dengan matanya yang begitu teduh dan bibirnya yang sedang tersenyum. Sebuah pemandangan indah selain langit dan laut yang sedang kami saksikan. Ini pertama kalinya kami duduk berdua seperti ini.

    “Tahu gak Di, kenapa gue pengen bawa lo ke Pantai?” Tanya Bayu. Aku menggeleng.

    “Karna dulu, gue suka banget sama Pantai.”

    “Kenapa?”

    “Indah.” Bayu menatapku, lalu tersenyum. Tanpa sadar, aku membalas senyumannya.

    Lo juga, Bay.

    “Tapi sekarang gak lagi deh kayaknya..” Lanjutnya. Suaranya perlahan memelan.

    “Lho, Kenapa?”

    “Gue udah nemuin yang lebih indah, Di.” Jawabnya dengan intonasi menggantung, seolah-olah kalimatnya belum selesai.

    Aku hanya diam, pura-pura tidak tahu apa yang selanjutnya akan dia katakan.

    “Lo.” Bayu melanjutkan kalimatnya. Kini dia kembali menatapku. Lalu, perlahan telapak tangannya memegang tangan kiriku sambil tersenyum. Manis sekali. Bayu menatapku cukup lama hingga akhirnya cowok itu perlahan memalingkan wajahnya, kembali melihat mentari yang kini sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Tangannya masih menggenggam tanganku.

    “Gue sayang banget sama lo.” Ucapnya sambil mempererat genggamannya sambil menikmati sisa-sisa guratan oranye di langit. Aku meresponnya dengan senyuman.

    Lamunanku kembali saat sebuah dering telepon bergema, memenuhi ruangan yang sebagian besar bermaterial kaca sehingga gema suaranya menantul semakin keras. Suara itu berasal dari kantong celana pria yang sedaritadi membuatku flashback, seolah-olah gagal move-on berkatnya.

    “Halo, iya nak?” Ucap Bayu kepada seseorang di ujung telepon di seberang sana.

    Nak, katanya? Jadi dia sudah menikah?

    Tiba-tiba terasa sebuah tusukan pedih di dadaku. Gak. Seharusnya kan gue emang gak boleh sakit hati. Kita kan udah lama banget putus. Pikirku, mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Emang udah seharusnya manusia dewasa seumuran kami ini menikah dah punya anak, bukan? Gue aja yang kelamaan nge-galau-in mantan, jadinya gak nikah-nikah deh.

    “Iya sayang, Papa gak lama lagi ya. See you, Manis.” Lalu Pak Bayu menutup telponnya. Bisa kutangkap bahwa sekarang keinginan terbesarnya sudah tercapai. Bayu yang dulu kukenal sudah menjadi seorang Ayah yang sukses, dan mendengar percakapan terakhirnya dengan anaknya barusan, pastilah dia adalah seorang Ayah yang penyayang, bukan seperti figur “ayah” yang dahulu ia ceritakan kepadaku.

    Waktu itu, saat kami masih di Pantai dengan matahari sudah tenggelam sepenuhnya dan remangnya malam mulai menyelimutiku dan Bayu. Aku dan Bayu menghabiskan sisa waktu dengan saling bercerita, menceritakan tentang apa saja yang membuat kami menjadi lebih dekat, lebih mengenal satu sama lain.

    Di momen seperti ini, Bayu sangat berbeda. Terutama saat dia menceritakan masa lalunya yang ternyata tidak seindah perawakannya, begitu kelam dan menyedihkan.

    “Papa gue tukang judi, mama gue sering dipukulin dan akhirnya ninggalin keluarga gue. Habis itu tiba-tiba keluarga gue bangkrut. Terus mereka cerai deh pas gue SMP. Jadi selama ini gue tinggal sama nenek gue. Jujur ya Di, gue benci banget sama orang tua gue,” Suaranya menggecil, terdengar lirih. Bayu lalu melanjutkan “Enggak. Maksud gue, gue benci masa kecil gue yang harus diisi dengan kenangan pahit bersama mereka. Gue gak pengen kayak mereka, Di.” Bayu menunduk, lama sekali.

    Melihat Bayu seperti ini, aku tidak bisa mencegah tanganku menyentuh pundaknya dan mengelusnya. Menurutku, Bayu terlalu berharga untuk mengalami semuanya, terlebih lagi semua itu terjadi saat dirinya masih kecil, saat dirinya bahkan belum mengerti apapun.

    Aku tidak ingin mengeluarkan sepatah katapun. Aku terlalu takut bahwa kalimat yang akan ku lontarkan bisa saja melukai hatinya. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah merangkulnya dan mengelus pundaknya hingga Bayu benar-benar merasa tenang.

    Mengingat kenangan itu lagi, rasa sakit yang tadinya sempat singgah di dadaku perlahan mulai tergantikan dengan perasaan lega dan bahagia. Akhirnya Bayu memiliki apa yang selama ini telah dia impikan. Aku bahagia untuknya. Walaupun tidak bisa kupungkiri, dia adalah salah satu faktor mengapa sampai sekarang aku masih menjomblo, bahkan sempat diledek teman-teman sekantorku dengan sebutan perawan tua. Dan mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengakhiri masa lajarngku dengan kembali membuka hati untuk orang lain.

    Terimakasih dan selamat tinggal Bayu.

Comments