r i n d u



Gue pernah benci sama orang tua gue. Sama mama gue yang suka ngomel dan ga ada waktu buat keluarganya. Sama papa gue yang selalu kasar sama anak dan isterinya.
Gue selalu cerita betapa buruknya hidup gue, betapa gagalnya orang tua gue dalam membahagiakan gue. Gue cerita semua yang terburuk tentang orang tua dan keluarga gue.
Dari dulu, gue ga pernah merasa bahwa keluarga adalah yang utama. Yang gue tau, siapapun yang bikin gue Bahagia dan ga mengecewakan gue akan selalu gue prioritasin dan gue berikan cinta terbaik buat dia. Siapapun itu, tapi bukan keluarga gue.
Gue ga pernah mengenal siapa sosok ayah yang katanya cinta pertama dari setiap anak perempuan itu, atau seorang cinta sejati dari ibu anak-anaknya. Atau mungkin sosok ayah yang kata mereka adalah pahlawan pelindung keluarga.
Gue pun juga ga pernah mengenal siapa sosok ibu yang mereka sebut-sebut sebagai sahabat terbaik dikala anaknya sedang jatuh, atau seorang teladan dari setiap anak perempuannya.
Parahnya, gue menilai mereka bukan sosok yang harus gue teladani.
Gue sadar gue adalah anak durhaka.
Anak yang dengan tidak tahu diri tinggal di kota orang, menikmati segala hal tanpa rasa syukur, menikmati segala hal dengan bahagia karena telah berada jauh dari inangnya.
Gue sadar bahwa gue adalah anak durhaka.
Yang setiap kali ditelpon ibunya lebih sering berakhir selisih.
Tapi sekarang anak durhaka ini tidak tau diri.
Anak durhaka ini rindu.

Gue kangen sama kedua orang tua gue. Selama tinggal jauh dari mereka, gue ga pernah sekangen ini.
Ingin sekali hati ini bertanya,
apa kabar ma, pa? “
“ tadi makan apa ma, pa?”
“saya rindu ma.. pa”
maafkan saya ma, pa”
Jujur gue merasa sangat bersalah sama kedua orang tua gue. Dengan segala masalah hidup yang diberikan Tuhan ke gue, dengan segala pertengkaran yang gue tonton sejak kecil, dengan segala likaliku yang udah gue laluin, semua itu bukan berarti hanya gue doang yang alamin. Semua itu bukan berarti hanya gue doang yang ngerasain susahnya.
Orang tua gue juga.
Keluarga gue juga.
Dan dengan semua yang telah mereka lewati, gue lupa bahwa mereka melalui itu semua dengan menanggung tanggung jawab penuh terhadap gue, kakak, dan adik gue. Bahwa mereka melalui beban dan cobaan seberat itu dengan banyak pertimbangan yang melibatkan anak-anaknya dibandingkan diri sendiri. Bahwa mereka melalui semua beban itu tanpa dukungan yang seharusnya mereka dapatkan dari anaknya.
Seharusnya gue mendukung ibu gue. Seharusnya gue memeluk ibu gue saat beliau menangis sendirian kala itu. Seharusnya gue patuh sama papa gue. Seharusnya gue memegang tangan papa gue semua orang menyalahkan beliau. Seharusnya gue melakukan itu semua.
Tapi miris.
Apa yang anak durhaka ini lakukan adalah menyalahkan semuanya. Bertindak seakan-akan menjadi korban. Mengumbar semua masalah yang dihadapi keluarganya, kemudian merasa bahwa dirinya adalah satu-satunya yang kesakitan.
Gue berharap orang tua gue bisa tau betapa sayangnya gue terhadap mereka. Bertapa berterimakasihnya gue terhadap pengalaman berharga yang telah gue dapetin, dan betapa bersyukurnya gue dengan kehadiran mereka di dalam hidup gue.  Dan yang ingin gue lakukan sekarang hanyalah minta maaf.
Teruntuk mama dan papa, di manapun kalian kelak ketika membaca tulisan saya ini:
Ma, pa.
Tolong maafkan saya. Tolong maafkan semua yang telah saya lakukan. Tolong maafkan semua rasa kebencian saya yang dulu pernah tersebesit di hati saat seharusnya saya memperlihatkan rasa sayang saya kepada mama dan papa.
Maafkan saya yang tidak pernah berani bilang saya sayang. Juga tidak pernah berani mengungkapkan perasaan rindu.

Dan kali ini Vadia rindu.

Sangat.

Comments

Post a Comment