Gue pernah benci
sama orang tua gue. Sama mama gue yang suka ngomel dan ga ada waktu buat
keluarganya. Sama papa gue yang selalu kasar sama anak dan isterinya.
Gue selalu
cerita betapa buruknya hidup gue, betapa gagalnya orang tua gue dalam membahagiakan
gue. Gue cerita semua yang terburuk tentang orang tua dan keluarga gue.
Dari dulu, gue
ga pernah merasa bahwa keluarga adalah yang utama. Yang gue tau, siapapun yang
bikin gue Bahagia dan ga mengecewakan gue akan selalu gue prioritasin dan gue
berikan cinta terbaik buat dia. Siapapun itu, tapi bukan keluarga gue.
Gue ga pernah
mengenal siapa sosok ayah yang katanya cinta pertama dari setiap anak perempuan
itu, atau seorang cinta sejati dari ibu anak-anaknya. Atau mungkin sosok ayah
yang kata mereka adalah pahlawan pelindung keluarga.
Gue pun juga ga
pernah mengenal siapa sosok ibu yang mereka sebut-sebut sebagai sahabat terbaik
dikala anaknya sedang jatuh, atau seorang teladan dari setiap anak
perempuannya.
Parahnya, gue
menilai mereka bukan sosok yang harus gue teladani.
Gue sadar gue
adalah anak durhaka.
Anak yang dengan
tidak tahu diri tinggal di kota orang, menikmati segala hal tanpa rasa syukur,
menikmati segala hal dengan bahagia karena telah berada jauh dari inangnya.
Gue sadar bahwa
gue adalah anak durhaka.
Yang setiap kali
ditelpon ibunya lebih sering berakhir selisih.
Tapi sekarang
anak durhaka ini tidak tau diri.
Anak durhaka ini
rindu.
Gue kangen sama
kedua orang tua gue. Selama tinggal jauh dari mereka, gue ga pernah sekangen
ini.
Ingin sekali
hati ini bertanya,
“ apa kabar
ma, pa? “
“ tadi makan
apa ma, pa?”
“saya rindu
ma.. pa”
“maafkan saya
ma, pa”
Jujur gue merasa
sangat bersalah sama kedua orang tua gue. Dengan segala masalah hidup yang
diberikan Tuhan ke gue, dengan segala pertengkaran yang gue tonton sejak kecil,
dengan segala likaliku yang udah gue laluin, semua itu bukan berarti hanya gue
doang yang alamin. Semua itu bukan berarti hanya gue doang yang ngerasain
susahnya.
Orang tua gue
juga.
Keluarga gue
juga.
Dan dengan semua
yang telah mereka lewati, gue lupa bahwa mereka melalui itu semua dengan
menanggung tanggung jawab penuh terhadap gue, kakak, dan adik gue. Bahwa mereka
melalui beban dan cobaan seberat itu dengan banyak pertimbangan yang melibatkan
anak-anaknya dibandingkan diri sendiri. Bahwa mereka melalui semua beban itu
tanpa dukungan yang seharusnya mereka dapatkan dari anaknya.
Seharusnya gue
mendukung ibu gue. Seharusnya gue memeluk ibu gue saat beliau menangis
sendirian kala itu. Seharusnya gue patuh sama papa gue. Seharusnya gue memegang
tangan papa gue semua orang menyalahkan beliau. Seharusnya gue melakukan itu
semua.
Tapi miris.
Apa yang anak
durhaka ini lakukan adalah menyalahkan semuanya. Bertindak seakan-akan menjadi
korban. Mengumbar semua masalah yang dihadapi keluarganya, kemudian merasa
bahwa dirinya adalah satu-satunya yang kesakitan.
Gue berharap
orang tua gue bisa tau betapa sayangnya gue terhadap mereka. Bertapa
berterimakasihnya gue terhadap pengalaman berharga yang telah gue dapetin, dan
betapa bersyukurnya gue dengan kehadiran mereka di dalam hidup gue. Dan yang ingin gue lakukan sekarang hanyalah
minta maaf.
Teruntuk mama
dan papa, di manapun kalian kelak ketika membaca tulisan saya ini:
Ma, pa.
Tolong maafkan
saya. Tolong maafkan semua yang telah saya lakukan. Tolong maafkan semua rasa
kebencian saya yang dulu pernah tersebesit di hati saat seharusnya saya
memperlihatkan rasa sayang saya kepada mama dan papa.
Maafkan saya
yang tidak pernah berani bilang saya sayang. Juga tidak pernah berani
mengungkapkan perasaan rindu.
Dan kali ini Vadia
rindu.
Sangat.
*online hug*
ReplyDeletehuaahuaa thaanks❤
Delete*sedih
ReplyDelete❣
Delete